Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun
1990-an
Deregulasi dan penerapan kebijakan- kebijakan lain
yang terkait dengan sektor moneter dan rill telah menyebabkan sektor perbankan
lebih mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja ekonomi makro di
Indonesia. Mobilisasi dana melalui perbankan menjadi lebih besar dan perbankan
menjadi lebih besar peran sertanya dalam menunjang kegiatan di sektor rill melalui peningkatan produksi barang dan
jasa.
Deregulasi di atas ternyata kurang diimbangi dengan
manajemen resiko perbankan yang baik. Perkembangan perbankan yang cukup lama
untuk dapat mengangkat Indomesia menjadi Negara dengan tingkat kesejahteraan
yang sama dengan negara- negara lain di Asia Tenggara.
Perkembangan ini dalam waktu yang sangat singkat
menjadi terhenti dan bahkan mengalami kemunduran total akibat adanya krisis
ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an. Krisis ekonomi yang pada awalnya
hanya dipandang sebagai krisis moneter ini banyak menyebabkan perubahan dalam
kondisi perbankan di Indonesia, sehingga kondisinya saat masa itu adalah sebagai
berikut:
a.Tingkat kepercayaan masyarakat Dalam dan Luar
Negri terhadap perbankan di Indonesia menurun drastic
b.Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat
c.Adanya Spread negative
d.Munculnya penggunaan peraturan perundangan yang
baru
e.Jumlah bank menurun
Kondisi perbankan indonesia pasca krisis moneter
Tiga hal penting menandai kondisi terakhir sektor
perbankan di Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah:
a.Selesainya peyusunan Arsitektur Perbankan
Indonesia (API). Munculnya API ini dipicu oleh adanya krisis perbankan dan
krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai tahun 1997. Salah satu landasan
penting penyusunan API ini adalah usaha Bank Indonesia untuk menerapkan 25
Barel Core Princioles.
b.Serangkaian rencana dan komitmen pemerintah, DPR,
dan Bank Indonesia untuk membentuk atau menyusun:
-Lembaga penjamin simpanan
-Lembaga Pengawas perbankan yang independent
-Otoritas Jasa keuangan
c.Kinerja perbankan yang lebih menunjukkan kondisi
masa peralihan atau awal masa pemulihan dari krisis ekonomi ke arah kondisi
perbankan yang lebih sesuai dengan praktik- praktik perbankan yang lebih baik.
Praktik perbankan yang lebih baik ini antara lain mengarah kepada:
1.Manajemen Pengelolaan resiko yang baik.
2.Struktur perbankan nasional yang lebih baik.
3.Penerapan prinsip kehati- hatian (prudential
banking) yang konsisten
4.Penyaluran dana masyarakat kea rah yang lebih
mencerminkan bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary) dengan
tetap berlandaskan prinsip kehati- hatian.
fungsi intermediasi
Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa saat ini bank
tidak menjalankan fungsi intermediasinya. Mereka mengacu pada masih rendahnya
LDR perbankan nasional yang kurang dari 65 persen pada akhir 2007. LDR adalah
rasio antara kredit yang disalurkan dan dana pihak ketiga yang dihimpun bank.
LDR yang tinggi menunjukkan bahwa bank melakukan fungsi intermediasinya dengan
baik dengan menyalurkan kembali DPK yang dihimpunnya ke masyarakat dalam bentuk
kredit (bukan diinvestasikan di surat berharga yang tidak dapat dinikmati
masyarakat banyak).
Sebelum krisis, LDR perbankan mencapai 110 persen
pada akhir 1996. LDR perbankan turun tajam menjadi 34 persen pada akhir 1999
karena kredit macet perbankan dialihkan ke BPPN sehubungan dengan program
rekapitalisasi perbankan nasional. Akibatnya, kredit perbankan turun tajam dari
Rp 378 triliun pada akhir 1997 menjadi hanya Rp 225 triliun pada akhir 1999.
Namun, seiring dengan pertumbuhan kredit perbankan yang sangat pesat dalam lima
tahun terakhir, LDR perbankan naik dari 43 persen pada akhir 2002 menjadi 65
persen pada akhir 2007. Memang, LDR perbankan saat ini lebih rendah dari posisi
sebelum krisis, tetapi peningkatan LDR dalam lima tahun terakhir tergolong
sangat pesat dan LDR perbankan diperkirakan segera mendekati 100 persen dalam
beberapa tahun ke depan. Kecuali untuk beberapa bank besar, posisi LDR sebagian
besar bank telah melebihi 90 persen. Jadi, kurang berdasar untuk menyalahkan
bahwa perbankan enggan menyalurkan kredit.
Dalam lima tahun terakhir, kredit perbankan tumbuh
23 persen per tahun dari Rp 365 triliun pada akhir 2002 menjadi Rp 995 triliun
pada akhir 2007. Pertumbuhan ini relatif tinggi jika dibandingkan dengan
pertumbuhan kredit periode 1992-1996 sebesar 15 persen per tahun. Di samping
itu, pertumbuhan kredit juga jauh di atas pertumbuhan DPK sebesar 12 persen per
tahun dalam periode 2002-2007.
Dibandingkan dengan sebelum krisis, saat ini
persaingan antarbank jauh lebih ketat, terutama dengan masuknya investor asing
sebagai pemegang saham mayoritas di beberapa bank. Menariknya, saat ini hanya
ada 130 bank, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah 230 bank sebelum
krisis. Sebelum krisis, 10 bank terbesar hanya menguasai 50 persen pangsa pasar
kredit dan DPK. Bandingkan dengan saat ini di kala 10 bank terbesar menguasai
masing-masing 60 persen dan 70 persen dari kredit dan DPK. Hal ini menunjukkan
bahwa telah terjadi konsolidasi perbankan.
Beberapa bank besar merupakan hasil penggabungan
bank yang dilakukan pemerintah/BPPN sehubungan dengan program rekapitalisasi
dan restrukturisasi perbankan nasional. Misalnya, Bank Mandiri adalah bank yang
dibentuk dari penggabungan beberapa bank pemerintah atau Bank Permata yang
merupakan hasil penggabungan beberapa bank di bawah BPPN. Walaupun jumlah bank
saat ini telah menyusut, BI merasa bahwa jumlah bank masih terlalu banyak untuk
disupervisi. Karena itu, BI mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Di situ BI memproyeksikan jumlah bank yang ideal adalah 50 bank saja, namun
banknya harus lebih besar dan kuat. API diperkirakan akan mengubah peta
persaingan perbankan nasional.
Secara fundamental terjadi perubahan peta persaingan
bank dalam penyaluran kredit. Masih ingat kajian dari BPPN bahwa sebelum krisis
sebagian bank menyalurkan kreditnya kepada grup, yang turut mendorong jatuhnya
perbankan nasional. Pascakrisis, terjadi pengalihan kepemilikan saham, terutama
kepada investor asing. Perubahan kepemilikan ini berdampak kepada perubahan
model bisnis dari bank. Saat ini bank secara agresif menyalurkan kredit kepada
masyarakat (bukan kepada perusahaan dalam satu grup). Sektor-sektor yang
sebelumnya diabaikan bank, seperti UKM dan konsumer, menjadi target utama bank.
Akibatnya, saat ini sebagian kredit disalurkan ke segmen UKMK, termasuk
konsumer. Bandingkan dengan kondisi sebelum krisis yang sebagian besar kredit
disalurkan ke usaha besar atau korporasi. Ini salah satu dampak yang positif
bagi perekonomian nasional dengan dibukanya akses kredit perbankan ke lapisan
masyarakat yang lebih luas.
Kepemilikan asing
Salah satu isu yang berkembang belakangan ini adalah
semakin besarnya peranan investor asing dalam perbankan nasional. Kalau merujuk
kepada makin banyaknya bank-bank besar yang dimiliki investor asing
pascadivestasi saham pemerintah, pendapat ini ada benarnya. Namun, kalau
melihat bahwa bank-bank yang dijual kepada investor asing adalah bank publik,
isu ini menjadi kurang relevan. Toh, bank pemerintah juga telah menjadi bank
publik yang mungkin sebagian sahamnya juga dimiliki oleh investor asing.
Menariknya, bank yang mayoritas sahamnya dimiliki investor asing juga masih berbadan
hukum Indonesia. Lagi pula, perbankan adalah industri yang regulasinya paling
ketat, sehingga akan sangat sulit bagi pemegang saham untuk melakukan tindakan
yang menguntungkan dirinya sendiri. Sebaliknya, kepemilikan asing dapat dipakai
sebagai wahana untuk meningkatkan profesionalisme para bankir kita dan tata
kelola perusahaan yang baik.
Prospek perbankan
Pertumbuhan kredit diperkirakan masih tinggi
mengingat tingkat penetrasi kredit di negara kita yang masih rendah. Rasio
kredit terhadap PDB hanya 25 persen pada 2007, jauh di bawah negara tetangga
yang telah mencapai angka 100 persen. Kapasitas bank untuk menyalurkan kredit
masih tinggi mengingat baru 65 persen dana yang dihimpun bank disalurkan
sebagai kredit. Bank juga didukung oleh modal yang kuat yang ditunjukkan oleh
rasio kecukupan modal (CAR) yang relatif tinggi, di atas 20 persen.
Permasalahan saat ini adalah daya serap pasar.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu membutuhkan pendanaan yang besar dan
sebagian dananya akan berasal dari sektor perbankan. Dalam lima tahun terakhir,
multiplier dari pertumbuhan ekonomi riil terhadap pertumbuhan kredit berkisar
tiga-empat kali yang berarti setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan mendorong
pertumbuhan kredit 3-5 persen. Kalau ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh di
atas 6 persen, maka pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan akan berkisar
18-24 persen, suatu angka yang relatif tinggi.
Tantangan lainnya adalah kemampuan bank untuk
melakukan inovasi produk dan layanan sehingga bank tidak hanya terfokus pada
satu sektor ekonomi atau segmen pasar, seperti kredit korporasi atau KPR. Bank
juga dapat masuk ke segmen yang belum digarap dengan menawarkan produk dan
layanan yang sesuai dengan kebutuhan segmen tersebut. Tidak mudah memang,
tetapi kalau berhasil akan memberikan imbalan yang memadai.