Minggu, 20 April 2014

sumary perkembangan industry perbankan( pasca krisis moneter 1998-sekarang)

Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an

Deregulasi dan penerapan kebijakan- kebijakan lain yang terkait dengan sektor moneter dan rill telah menyebabkan sektor perbankan lebih mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja ekonomi makro di Indonesia. Mobilisasi dana melalui perbankan menjadi lebih besar dan perbankan menjadi lebih besar peran sertanya dalam menunjang kegiatan di sektor  rill melalui peningkatan produksi barang dan jasa.
Deregulasi di atas ternyata kurang diimbangi dengan manajemen resiko perbankan yang baik. Perkembangan perbankan yang cukup lama untuk dapat mengangkat Indomesia menjadi Negara dengan tingkat kesejahteraan yang sama dengan negara- negara lain di Asia Tenggara.
Perkembangan ini dalam waktu yang sangat singkat menjadi terhenti dan bahkan mengalami kemunduran total akibat adanya krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an. Krisis ekonomi yang pada awalnya hanya dipandang sebagai krisis moneter ini banyak menyebabkan perubahan dalam kondisi perbankan di Indonesia, sehingga kondisinya saat masa itu adalah sebagai berikut:
a.Tingkat kepercayaan masyarakat Dalam dan Luar Negri terhadap perbankan di Indonesia menurun drastic
b.Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat
c.Adanya Spread negative
d.Munculnya penggunaan peraturan perundangan yang baru
e.Jumlah bank menurun

Kondisi perbankan indonesia pasca krisis moneter

Tiga hal penting menandai kondisi terakhir sektor perbankan di Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah:
a.Selesainya peyusunan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Munculnya API ini dipicu oleh adanya krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai tahun 1997. Salah satu landasan penting penyusunan API ini adalah usaha Bank Indonesia untuk menerapkan 25 Barel Core Princioles.
b.Serangkaian rencana dan komitmen pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk membentuk atau menyusun:
-Lembaga penjamin simpanan
-Lembaga Pengawas perbankan yang independent
-Otoritas Jasa keuangan
c.Kinerja perbankan yang lebih menunjukkan kondisi masa peralihan atau awal masa pemulihan dari krisis ekonomi ke arah kondisi perbankan yang lebih sesuai dengan praktik- praktik perbankan yang lebih baik. Praktik perbankan yang lebih baik ini antara lain mengarah kepada:
1.Manajemen Pengelolaan resiko yang baik.
2.Struktur perbankan nasional yang lebih baik.
3.Penerapan prinsip kehati- hatian (prudential banking) yang konsisten
4.Penyaluran dana masyarakat kea rah yang lebih mencerminkan bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary) dengan tetap berlandaskan prinsip kehati- hatian.

fungsi intermediasi

Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa saat ini bank tidak menjalankan fungsi intermediasinya. Mereka mengacu pada masih rendahnya LDR perbankan nasional yang kurang dari 65 persen pada akhir 2007. LDR adalah rasio antara kredit yang disalurkan dan dana pihak ketiga yang dihimpun bank. LDR yang tinggi menunjukkan bahwa bank melakukan fungsi intermediasinya dengan baik dengan menyalurkan kembali DPK yang dihimpunnya ke masyarakat dalam bentuk kredit (bukan diinvestasikan di surat berharga yang tidak dapat dinikmati masyarakat banyak).
Sebelum krisis, LDR perbankan mencapai 110 persen pada akhir 1996. LDR perbankan turun tajam menjadi 34 persen pada akhir 1999 karena kredit macet perbankan dialihkan ke BPPN sehubungan dengan program rekapitalisasi perbankan nasional. Akibatnya, kredit perbankan turun tajam dari Rp 378 triliun pada akhir 1997 menjadi hanya Rp 225 triliun pada akhir 1999. Namun, seiring dengan pertumbuhan kredit perbankan yang sangat pesat dalam lima tahun terakhir, LDR perbankan naik dari 43 persen pada akhir 2002 menjadi 65 persen pada akhir 2007. Memang, LDR perbankan saat ini lebih rendah dari posisi sebelum krisis, tetapi peningkatan LDR dalam lima tahun terakhir tergolong sangat pesat dan LDR perbankan diperkirakan segera mendekati 100 persen dalam beberapa tahun ke depan. Kecuali untuk beberapa bank besar, posisi LDR sebagian besar bank telah melebihi 90 persen. Jadi, kurang berdasar untuk menyalahkan bahwa perbankan enggan menyalurkan kredit.
Dalam lima tahun terakhir, kredit perbankan tumbuh 23 persen per tahun dari Rp 365 triliun pada akhir 2002 menjadi Rp 995 triliun pada akhir 2007. Pertumbuhan ini relatif tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit periode 1992-1996 sebesar 15 persen per tahun. Di samping itu, pertumbuhan kredit juga jauh di atas pertumbuhan DPK sebesar 12 persen per tahun dalam periode 2002-2007.
Dibandingkan dengan sebelum krisis, saat ini persaingan antarbank jauh lebih ketat, terutama dengan masuknya investor asing sebagai pemegang saham mayoritas di beberapa bank. Menariknya, saat ini hanya ada 130 bank, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah 230 bank sebelum krisis. Sebelum krisis, 10 bank terbesar hanya menguasai 50 persen pangsa pasar kredit dan DPK. Bandingkan dengan saat ini di kala 10 bank terbesar menguasai masing-masing 60 persen dan 70 persen dari kredit dan DPK. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi konsolidasi perbankan.
Beberapa bank besar merupakan hasil penggabungan bank yang dilakukan pemerintah/BPPN sehubungan dengan program rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan nasional. Misalnya, Bank Mandiri adalah bank yang dibentuk dari penggabungan beberapa bank pemerintah atau Bank Permata yang merupakan hasil penggabungan beberapa bank di bawah BPPN. Walaupun jumlah bank saat ini telah menyusut, BI merasa bahwa jumlah bank masih terlalu banyak untuk disupervisi. Karena itu, BI mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Di situ BI memproyeksikan jumlah bank yang ideal adalah 50 bank saja, namun banknya harus lebih besar dan kuat. API diperkirakan akan mengubah peta persaingan perbankan nasional.
Secara fundamental terjadi perubahan peta persaingan bank dalam penyaluran kredit. Masih ingat kajian dari BPPN bahwa sebelum krisis sebagian bank menyalurkan kreditnya kepada grup, yang turut mendorong jatuhnya perbankan nasional. Pascakrisis, terjadi pengalihan kepemilikan saham, terutama kepada investor asing. Perubahan kepemilikan ini berdampak kepada perubahan model bisnis dari bank. Saat ini bank secara agresif menyalurkan kredit kepada masyarakat (bukan kepada perusahaan dalam satu grup). Sektor-sektor yang sebelumnya diabaikan bank, seperti UKM dan konsumer, menjadi target utama bank. Akibatnya, saat ini sebagian kredit disalurkan ke segmen UKMK, termasuk konsumer. Bandingkan dengan kondisi sebelum krisis yang sebagian besar kredit disalurkan ke usaha besar atau korporasi. Ini salah satu dampak yang positif bagi perekonomian nasional dengan dibukanya akses kredit perbankan ke lapisan masyarakat yang lebih luas.

Kepemilikan asing

Salah satu isu yang berkembang belakangan ini adalah semakin besarnya peranan investor asing dalam perbankan nasional. Kalau merujuk kepada makin banyaknya bank-bank besar yang dimiliki investor asing pascadivestasi saham pemerintah, pendapat ini ada benarnya. Namun, kalau melihat bahwa bank-bank yang dijual kepada investor asing adalah bank publik, isu ini menjadi kurang relevan. Toh, bank pemerintah juga telah menjadi bank publik yang mungkin sebagian sahamnya juga dimiliki oleh investor asing. Menariknya, bank yang mayoritas sahamnya dimiliki investor asing juga masih berbadan hukum Indonesia. Lagi pula, perbankan adalah industri yang regulasinya paling ketat, sehingga akan sangat sulit bagi pemegang saham untuk melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya sendiri. Sebaliknya, kepemilikan asing dapat dipakai sebagai wahana untuk meningkatkan profesionalisme para bankir kita dan tata kelola perusahaan yang baik.

Prospek perbankan

Pertumbuhan kredit diperkirakan masih tinggi mengingat tingkat penetrasi kredit di negara kita yang masih rendah. Rasio kredit terhadap PDB hanya 25 persen pada 2007, jauh di bawah negara tetangga yang telah mencapai angka 100 persen. Kapasitas bank untuk menyalurkan kredit masih tinggi mengingat baru 65 persen dana yang dihimpun bank disalurkan sebagai kredit. Bank juga didukung oleh modal yang kuat yang ditunjukkan oleh rasio kecukupan modal (CAR) yang relatif tinggi, di atas 20 persen.
Permasalahan saat ini adalah daya serap pasar. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu membutuhkan pendanaan yang besar dan sebagian dananya akan berasal dari sektor perbankan. Dalam lima tahun terakhir, multiplier dari pertumbuhan ekonomi riil terhadap pertumbuhan kredit berkisar tiga-empat kali yang berarti setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan mendorong pertumbuhan kredit 3-5 persen. Kalau ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh di atas 6 persen, maka pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan akan berkisar 18-24 persen, suatu angka yang relatif tinggi.
Tantangan lainnya adalah kemampuan bank untuk melakukan inovasi produk dan layanan sehingga bank tidak hanya terfokus pada satu sektor ekonomi atau segmen pasar, seperti kredit korporasi atau KPR. Bank juga dapat masuk ke segmen yang belum digarap dengan menawarkan produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan segmen tersebut. Tidak mudah memang, tetapi kalau berhasil akan memberikan imbalan yang memadai.